Pengertian Non
Performing Loan (NPL)
Setiap bank
akan menjumpai pinjaman yang membawa resiko lebih besar daripada yang
diperkirakan saat memberikan persetujuan permohonan kredit dalam fortopolio
kreditnya, bahkan juga pinjaman yang mungkin membawa resiko jauh lebih besar
daripada yang lazimnya masih bisa dihadapi. Pinjaman-pinjaman yang demikian
dikategorikan dalam pinjaman yang bermasalah.
Kredit bermasalah atau non performing
loan, merupakan resiko yang terkandung dalam setiap pemberian kredit oleh bank.
Resiko tersebut berupa keadaan dimana kredit tidak dapat kembali tepat pada
waktunya.(YLBH, 2007:154).
Non performing loan
merupakan kredit bermasalah yang dapat diukur dari kolektibilitasnya.
Kolektibilitas merupakan gambaran kondisi pembayaran pokok, bunga pinjaman dan tingkat
kemungkinan diterimanya kembali dana yang ditanamkan.
Penilaian
kolektibilitas kredit digolongkan kedalam 5 kelompok yaitu (Kasmir, 2008 :
123):
1.
Lancar (pas)
Suatu kredit dapat dikatakan lancar apabila:
a.
Pembayaran angsuran
pokok dan/atau bunga tepat waktu.
b.
Memiliki mutasi
rekening yang aktif.
c.
Bagian dari kredit
yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral).
2.
Dalam perhatian
khusus (special mention)
Dikatakan dalam perhatian khusus apabila memenuhi
kriteria antara lain:
a.
Terdapat tunggakan
pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang belum melampui 90 hari.
b.
Kadang-kadang
terjadi cerukan.
c.
Jarang terjadi
pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan.
d.
Mutasi rekening
relatif aktif.
e.
Didukung dengan
pinjaman baru
3.
Kurang lancar
(substandard)
Dikatakan kurang lancar apabila memenuhi kriteria
diantaranya:
a.
Terdapat tunggakan
pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari.
b.
Sering terjadi
cerukan.
c.
Terjadi pelanggaran
terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari.
d.
Frekuensi mutasi
rekening relatif rendah.
e.
Terdapat indikasi
masalah keuangan yang dihadapi debitur.
f.
Dokumen pinjaman
yang lemah.
4.
Diragukan
(doubtful)
Dikatakan diragukan apabila memenuhi kriteria
diantaranya:
a.
Terdapat tunggakan
pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180 hari.
b.
Terjadi cerukan
yang bersifat permanen.
c.
Terjadi wanprestasi
lebih dari 180 hari.
d.
Terjadi
kapitalisasi bunga.
e.
Dokumen hukum yang
lemah, baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan.
5.
Macet (loss)
Dikatakan macet apabila memenuhi kriteria antara lain:
a.
Terdapat tunggakan
pembayaran angsuran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 270 hari.
b.
Kerugian
operasional ditutup dengan pinjaman baru.
c.
Dari segi hukum dan
kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai yang wajar.
Rumus NPL =
Kredit Bermasalah x 100 %
Total Kredit
(
Sumber : SEBI
No.6/23/DPNP Tahun 2004)
NPL mencerminkan resiko kredit, semakin kecil NPL semakin kecil pula resiko
kredit yang ditanggung pihak bank. Agar nilai bank terhadap rasio ini baik Bank
Indonesia menetapkan kriteria rasio NPL net di bawah 5%. NPL dapat diperoleh
dengan cara menghitung rasio antara kredit bermasalah dengan total kredit.
Rasio ini menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit
bermasalah yang diberikan oleh bank. Artinya, semakin tinggi rasio ini maka
akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit
bermasalah semakin besar maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah
semakin besar yaitu kerugian yang diakibatkan tingkat pengembalian kredit
macet.
Faktor-faktor Penyebab terjadinya Non Performing Loan (NPL)
Dari sisi
perspektif bank, terjadinya kredit bermasalah disebabkan oleh berbagai faktor
yang dapat dibedakan sebagai berikut (Siamat, 2005 : 360):
1.
Faktor Internal
Faktor internal kredit bermasalah berhubungan dengan
kebijakan dan strategi yang ditempuh pihak bank, yaitu:
a. Kebijakan
perkreditan yang ekspansif
Bank yang memiliki kelebihan dana (excess liquidity) sering menetapkan
kebijaksanaan perkreditan yang terlalu ekspansif yang melebihi pertumbuhan
kredit secara wajar, yaitu dengan menetapkan sejumlah target kredit yang harus
dicapai untuk waktu tertentu yang cenderung mendorong pejabat kredit menempuh
langkah-langkah yang lebih agresif dalam penyaluran kredit sehingga
mengakibatkan tidak lagi selektif dalam memilih calon debitur dan kurang
menerapkan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat dalam menilai permohonan kredit
sebagaimana seharusnya.
b. Penyimpangan dalam
pelaksanaan prosedur perkreditan
Pejabat bank sering tidak mengikuti dan kurang disiplin
dalam menerapkan prosedur perkreditan sesuai dengan pedoman dan tata cara
pemberian kredit dalam suatu bank. Hal yang sering terjadi, bank tidak
mewajibkan calon debitur membuat studi kelayakan dan menyampaikan data keuangan
yang lengkap. Penyimpangan sistem dan prosedur perkreditan tersebut bisa
disebabkan karena jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang menangani masalah
perkreditan belum memadai, maupun karena adanya pihak dalam bank yang sangat
dominan dalam pemutusan kredit.
c. Lemahnya sistem
administrasi dan pengawasan kredit
Hal ini dapat dilihat dari dokumen kredit yang seharusnya
diminta dari debitur tapi tidak dilakukan oleh bank, berkas perkreditan tidak
lengkap dan tidak teratur, pemantauan terhadap usaha debitur tidak dilakukan
secara rutin, termasuk peninjauan langsung pada lokasi usaha debitur secara
periodik. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan tersebutmenyebabkan kredit yang secara potensial akan mengalami
masalah tidak dapat dilacak secara dini.
d. Lemahnya sistem
informasi kredit
Sistem informasi kredit yang tidak berjalan sebagaimana
seharusnya akan memperlemah keakuratan pelaporan bank yang pada gilirannya akan
sulit melakukan deteksi dini. Hal tersebut dapat menyebabkan terlambatnya
pengambilan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kredit
bermasalah.
e. Itikad kurang baik
dari pihak bank
Pemilik atau pengurus bank seringkali memanfaatkan
keberadaan banknya untuk kepentingan kelompok bisnisnya dengan sengaja
melanggar ketentuan kehati-hatian perbankan terutama ketentuan legal lending
limit. Skenario lain adalah pemilik dan atau pengurus bank memberikan kredit
kepada debitur yang sebenarnya fiktif hanya untuk kepentingan pemilik atau
pengurus bank.
2.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal ini sangat terkait dengan kegiatan usaha
debitur yang menyebabkan terjadinya kredit bermasalah antara lain terdiri dari:
a. Penurunan kegiatan
ekonomi dan tingginya tingkat bunga kredit
Kegiatan usaha debitur rentan terhadap terjadinya
penurunan kegiatan ekonomi dan dalam waktu yang sama tingkat suku bunga
mengalami kenaikan yang tinggi. Penurunan kegiatan ekonomi dapat disebabkan
oleh adanya kebijakan penyejukan ekonomi atau akibat kebijakan pengetatan uang
yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang menyebabkan tingkat bunga naik dan pada gilirannya debitur tidak lagi
mampu membayar cicilan pokok dan bunga kredit.
b. Pemanfaatan iklim
persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur
Persaingan bank yang sangat ketat dalam penyaluran kredit
dapat dimanfaatkan debitur yang kurang memiliki itikad baik untuk memperoleh
kredit melebihi jumlah yang diperlukan, untuk usaha yang tidak jelas, atau
untuk kegiatan spekulatif. Dalam kondisi persaingan yang tajam, sering bank
menjadi tidak rasional dalam pemberian kredit dan akan diperburuk dengan
keterbatasan kemampuan teknis dan pengalaman petugas bank dalam pengelolaan
kredit.
c. Kegagalan usaha
debitur
Kegagalan usaha debitur dapat terjadi karena sifat usaha
debitur yang sensitif terhadap pengaruh eksternal (external factors), misalnya kegagalan dalam pemasaran produk;
karena perubahan harga dipasar, adanya perubahan pola konsumen, dan pengaruh
perekonomian nasional.
d. Debitur mengalami
musibah
Musibah dapat saja terjadi pada debitur, misalnya
meninggal dunia, lokasi usahanya mengalami kebakaran atau kerusakan sementara
usaha debitur tidak dilindungi dengan asuransi.
3.
Faktor Eksternal
Bank dan Debitur
Yang mempengaruhi kelancaran usaha perusahaan atau bank
yaitu:
a. Menurunnya kondisi
ekonomi dan moneter negara atau sektor usaha.
Bagi banyak perusahaan dampak langsungnya adalah
menurunnya hasil penjualan barang dan jasa yang dihasilkan. Selanjutnya
profitabilitas dan likuiditas keuangan menurun, sehingga kemampuan membayar
pinjaman terpengaruhi. Manakala perekonomian mengalami krisis, maka biasanya
tabungan masyarakat akan menjadi rendah dan konsumsi akan menjadi tinggi karena
kurangnya kepercayaan pada lembaga perbankan dan semakin mahal dan langkanya
barang-barang kebutuhan.
b. Situasi politik
dalam dan luar negeri yang merugikan.
c. Meningkatnya
tingkat suku bunga pinjaman.
d. Bencana alam yang
merusak atau memusnahkan fasilitas produksi yang mereka miliki.
e. Peraturan
pemerintah dapat menjadi sebab lain merosotnya kemampuan debitur bank
mengembalikan kredit. Peraturan yang bersifat membatasi berdampak besar atas
situasi keuangan dan operasional serta manajemen nasabah serta adanya perubahan
kebijaksanaan pemerintah di sektor rill.
f. Melemahnya kurs
nilai tukar mata uang nasional terhadap mata uang asing. Faktor kurs nilai
tukar semakin besar pengaruhnya terhadap debitur yang meminjam kredit dalam
mata uang asing dan memasarkan produk mereka didalam negeri dengan harga dalam
mata uang nasional. Hal ini menyebabkan beban bunga dan pembayaran kembali
kredit meningkat sampai diluar batas debitur untuk memikulnya.
Indikasi Kredit Bermasalah
Deteksi merupakan suatu kemampuan untuk mengenali
tanda-tanda kemungkinan adanya suatu masalah atau paling tidak mengarah ke
suatu masalah terhadap kredit yang sedang berjalan. Indikasi kemungkinan
terjadinya kredit bermasalah dapat dibedakan dari dua sumber yaitu (Siamat,
2005 : 359) :
1.
Indikasi internal
a. Perkembangan
kondisi keuangan yang cenderung berlawanan dari proyeksi yang diharapkan.
b. Terjadi penundaan
pembayaran cicilan pokok dan bunga.
c.
Ada anggota
eksekutif perusahaan yang mengundurkan diri.
d. Meningkatnya
penggunaan fasilitas overdraft.
e. Permintaan
penambahan kredit tanpa menyertakan data-data keuangan yang lengkap dan
mutakhir.
f. Permohonan
perpanjangan atau penjadwalan ulang.
g. Usaha nasabah
terlalu ekspansif.
h. Debitur menghindari
penyampaian informasi keuangan pada saat diminta.
2.
Indikasi eksternal
a. Adanya penyelidikan
dari lemabaga-lembaga keuangan lain.
b. Kreditur lain
melakukan tindakan proteksi, misalnya penambahan dan pengikatan barang jaminan
secara normal.
c. Kegagalan
perusahaan membayar pajak.
d. Ada anggota
eksekutif perusahaan yang mengundurkan diri.
e. Pemogokan buruh
(pekerja) secara terorganisasi.
f. Permohonan
perpanjangan atau penjadwalan ulang.
g. Peluncuran produksi
baru oleh pesaing
Penyelamatan Kredit Bermasalah
Penyelamatan kredit merupakan usaha yang dilakukan bank terhadap kredit
yang digolongkan sebagai kredit bermasalah. Penyelamatan kredit dimaksud
sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan kredit yang tergolong kredit
bermasalah atau non performing loan setelah semua upaya pembinaan kredit
dilakukan.
Kredit yang
telah diklasifikasi sebagai kredit bermasalah, sebelum dilakukan penyelamatan
dapat ditempuh beberapa usaha sebagai berikut (Siamat, 2005 : 362) :
1. Peringatan tertulis
untuk segera menyelesaikan kewajibannya yang tertunggak disamping usaha lain
untuk melakukan penagihan. Peringatan tersebut dapat diulangi sampai tiga kali.
Apabila debitur belum juga menyelesaikan kewajibannya, maka bank dapat mencabut
fasilitas kredit sehingga yang bersangkutan dapat dikenakan overdue
2. Apabila setelah
dilakukan peringatan tiga kali namun belum ada reaksi dan usaha debitur untuk
melunasi utangnya, dapat ditempuh jalur hukum yaitu lembaga somatie yang ada di
Pengadilan Negeri bagi bank swasta. Sedangkan bagi bank BUMN melalui Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN).
Beberapa cara
pendekatan yang dapat dipertimbangkan dalam upaya penyelamatan kredit
bermasalah sebagai berikut:
1.
Rescheduling (penjadwalan ulang)
Yaitu perubahan
persyaratan kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka
waktu kredit. Kredit yang memperoleh fasilitas rescheduling hanyalah debitur
yang memenuhi persyaratan tertentu antara lain: usaha debitur memiliki prospek
untuk bangkit kembali, debitur menunjukkan itikad baik yaitu memiliki willingness to pay, dan adanya keyakinan
bahwa debitur tetap berminat dan berniat untuk terus mengelola usahanya. Dalam proses
rescheduling ini tunggakan pokok dan bunga dijumlahkan (dikapitalisasi) untuk
kemudian dijadwalkan kembali pembayarannya dan untuk itu dibuat perjanjian rescheduling tersendiri.
2.
Reconditioning (persyaratan ulang)
Yaitu perubahan
sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan
jadwal pembayarannya, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya, sepanjang
tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit. Dalam reconditioning ini dapat pula diberikan kepada debitur keringanan
berupa pembebasan sebagian bunga tertunggak atau penghentian perhitungan bunga
bagi debitur yang bersifat jujur, terbuka dan cooperative, serta bagi debitur yang usahanya masih potensial dapat
beroperasi dengan menguntungkan namun mengalami kesulitan keuangan.
3.
Restructuring (penataan ulang)
Yaitu perubahan
syarat-syarat kredit yang menyangkut penambahan dana bank, konversi seluruh
atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan, yang dapat
disertai dengan penjadwalan kembali dan atau persyaratan kembali.
4.
Eksekusi
Barang Jaminan
Yaitu penjualan
barang-barang yang dijadikan jaminan dalam rangka pelunasan utang. Pelaksanaan
ini dilakukan terhadap kategori kredit yang memang benar-benar, menurut bank,
usaha debitur sudah tidak dapat lagi dibantu untuk disehatkan kembali atau
usaha nasabah yang sudah tidak memiliki prospek untuk dikembangkan.
Dampak Non
Performing Loan (NPL)
Kredit macet
dalam jumlah besar yang relatif besar atau bahkan informasi yang tidak benar
mengenai kredit macet yang dialami bank tertentu, jika tidak segera diambil
langkah penanggulangan, maka akan menimbulkan kegelisahan pada nasabah bank
yang bersangkutan dan memungkinkan terjadinya rush. Kredit macet yang cukup besar dalam industri perbankan
membawa dampak yang cukup luas yaitu secara:
1. Makro, mengingat sebagian dana yang dihimpun bank
digunakan untuk menutup kewajiban baik jangka pendek atau panjang, maka
kemampuan bank dalam memberikan kredit baru menjadi berkurang sehingga menutup
kemungkinan calon debitur baru untuk memperoleh fasilitas kredit dari bank yang
bersangkutan. Dampak lainnya bank cenderung terlalu selektif dan berhati-hati
memberikan kredit sehingga ekspansi pemberian kredit menjadi menurun. Selain
itu proses pemberian kredit cenderung lama dari prosedur normal dan
mengakibatkan biaya dana serta bunga kredit menjadi lebih tinggi.
2. Mikro, merugikan perkembangan usaha dan
kesehatan bank. Keadaan tersebut mempengaruhi likuiditas bank, dalam arti
kemungkinan bank tidak dapat memenuhi kewajibannya segera. Disamping itu,
bekerjanya penerimaan mempengaruhi solvabilitas
dan rentabilitas bank, hal tersebut
juga akan mempengaruhi keadaan permodalan.